Minggu, 13 April 2008

Renungan sebuah arti tobat

Entah kenapa sejak meninggalnya Dr. Rachmat W Adi, saya merasa begitu kehilangan salah satu orang yang saya hormati. Begitu dalam arti itu, hingga sejak saya mendengar kabar meninggalnya beliau saya ingat begitu banyak dosa telah saya perbuat. Pagi ini saya berpikir akan makna sebuah tobat, karena saya merasakan bahwa apa yang pernah saya tobatkan masih saja terulang dan terulang lagi. Ada rasa penyesalan namun seringkali iman saya tak mampu berpaling dari perbuatan dosa tersebut. Tidak perlu saya jelaskan dosa apa saja yang telah saya perbuat, hanya saya dan Tuhan (Allah)-lah yang tahu. Namun demikian sebagai insan muslim saya memiliki niat suci ingin menjadi sosok manusia baik yang ihlas dalam menghadapi segala masalah.

Berikut ini saya kutipkan renungan tobat yang sangat bermanfaat. Selamat menikmati....

di copy dari : http://www.fajar.co.id/kolom/print.php?newsid=810

Makna Istigfar dan Tobat
(05 Mar 2008)

Sejak masa kanak-kanak saya hingga saya dewasa, saya sering sekali menyaksikan seseorang menyuruh orang lain untuk mengucapkan kalimat “istighfar” yaitu: astaghfirulloohal ‘adhiim’, dan juga sangat banyak fenomena orang-orang tertentu ketika mengalami suatu kejadian yang di luar hal yang rutinnya, mengucapkan kalimat “istighfar” itu.

Benarkah dengan sekadar mengucapkan kalimat “istighfar” tadi sudah berarti orang yang mengucapkannya telah melakukan “tobat”, tegasnya “tobat nasuha”? Menurut keyakinan saya, pertobatan tidak sekadar mengucapkan kalimat “istighfar”, meskipun diucapkannya ribuan atau puluhan ribu kali dalam sehari.Pernyataan “tobat” tidak sekadar mengucapkan kalimat “istighfar”, melainkan harus disertai kesadaran penuh dari orang tersebut, bahwa perbuatan yang telah dilakukannya memang adalah perbuatan salah, dan orang itu benar-benar sampai di lubuk hati dan kesadarannya yang terdalam, menyesali perbuatan dosa yang di-“istighfar”-kannya tadi dan bertekad dengan sepenuh-penuh hati “tidak akan mengulangi perbuatan jahat atau dosa” yang telah dilakukannya. Belum cukup sampai di situ saja, melainkan masih harus dilanjutkan dengan “menindih”dosa-dosanya dengan perbuatan baik. Bersedekah sebanyak-banyaknya, itu salah satu contoh.Bukankah Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kalian menindih atau mengikutkan dengan perbuatan-perbuatan baik lagi indah terhadap perbuatan-perbuatan jahat, barulah perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kalian lakukan, akan terhapus dengan perbuatan baik, dan hendaklah kalian berakhlak mulia dalam kehidupan sosial kalian”.Allah swt (dalam Alquran 13:22): “..... menolak kejahatan dengan kebaikan, bagi mereka itu tempat akhir yang baik”. Demikian juga Firman Allah swt (dalam Alquran 3 : 135): “Dan juga orang-orang yang jika telah berbuat keji atau zalim terhadap dirinya (melakukan perbuatan dosa), mereka lalu mengingat kepada Allah, dan memohon ampun atas dosa-dosanya.... Dan (asalkan) mereka tidak mengulangi lagi (meneruskan) perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui”.Dengan demikian, “tobat” itu maknanya berjanji kepada Allah untuk memperbaiki dosa-dosa yang pernah dilakukannya, dan tidak akan mengulanginya lagi, dan akan menggantikan perbuatan dosa dengan lebih banyak dan lebih banyak perbuatan baik.Dengan demikian, juga bagi batin orang bersangkutan, secara psikologis jika dosanya diyakininya telah diampuni Allah (dengan memenuhi syarat “tobat” di atas), berarti efek-efek negatif dari dosa yang pernah dilakukannya itu,telah lenyap dan tidak berpengaruh lagi pada hati dan jiwanya, karena telah terhapus oleh efek-efek positif dari perbuatan-perbuatan baik yang kemudian dilakukannya menggantikan dan “menindih” semua perbuatan dosanya.Salah kaprah besar tentang makna “tobat” dan “istighfar”, jika seseorang setiap tahunnya melakukan umroh ke Tanah Suci, yaitu konon “pergi” meminta pengampunan Allah swt (yang sebenarnya Allah swt itu tidak memiliki “tempat” tertentu, karena Allah swt bukan “makhluk” yang terikat dengan waktu dan tempat, Allah swt itu ada di mana-mana, bahkan lebih dekat ketimbang urat leher kita sendiri), tetapi yang setiap kembali dari “umroh”, orang itu mengulangi perbuatan dosanya, dengan keyakinan, toh, tahun depan dia bisa ke Tanah Suci lagi untuk ber”umroh”.Sungguh Allah swt akan sangat murka terhadap orang yang mencoba “menipu” Allah swt dengan berpura-pura “tobat”, padahal di lubuk hati dan kesadarannya yang terdalam, tetap terselip niat untuk mengulangi kejahatannya. Yang dimaksud “istighfar” dalam Alquran (99: 7-8 dan 101 : 6-11) hanyalah “istighfar” yang dilakukan dengan kesadaran dan tekad penuh seluruh jiwa raga, bukan sekadar ucapan mulut belaka. Allah swt mustahil bisa dikelabui dengan tobat sandiwara, sesuai firmanNya: “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Batin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu (QS, al-Hadid : 3)”.

Tidak ada komentar: