Kamis, 25 Oktober 2007

Selamat buat Bapak Dr. Yaya Rukayadi

Yaya, Peneliti Temulawak di Korea



Kompas/Tjahya Gunawan
Dr Yaya Rukayadi
Di sekitar laboratorium tempat Dr Yaya Rukayadi (43) berkutat dengan kesibukannya sebagai peneliti senior sekaligus pengajar di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan, terdapat sejumlah tanaman obat Indonesia, khususnya temulawak. Tanaman tersebut sengaja dikirim dari Tanah Air ke Negeri Ginseng itu untuk diteliti.

Dari pertanyaan mengapa tanaman obat di Indonesia diteliti di Korea, Yaya Rukayadi mengawali ceritanya. Ia ingin agar temulawak bisa dijadikan "merek" Indonesia, sama seperti ginseng yang sudah menjadi merek atau setidaknya membuat orang ingat Korea.

"Kalau orang ngomong ginseng, pasti asosiasinya Korea. Padahal, negara yang memproduksi ginseng terbesar di dunia adalah Kanada dan China. Orang Korea juga mengimpor bahan dasar ginseng dari Kanada dan China," ungkap Yaya Rukayadi dalam percakapan dengan Kompas awal Agustus 2007 di Yonsei University, Seoul.

Obsesi Yaya menjadikan temulawak sebagai ikon tanaman obat dari Indonesia sama seperti ginseng yang sudah menjadi ikon Korea.

Di Indonesia, untuk tanaman obat temulawak (Curcuma xanthorrhiza), jangankan kultivasi yang benar, pemetaan temulawak pun data resminya belum ada. Oleh sebab itu, Yaya bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biopharmaca di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Departemen Pertanian untuk membuat riset dasar tentang temulawak.

Tak punya musuh
Temulawak adalah tanaman yang hampir tak memiliki musuh (hama). Tanaman ini menghasilkan antijamur, ia tak akan terkena jamur karena temulawak sendiri menghasilkan jamur.

Tanaman temulawak di Indonesia hanya ada di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Maluku Selatan. Menurut Yaya, temulawak bisa tumbuh di Sumatera, tetapi tidak bisa sebaik kalau ditanam di Pulau Jawa. Untuk lebih memopulerkan dan memperkenalkan tanaman temulawak ke forum internasional, Yaya bekerja sama dengan IPB untuk mendeklarasikan Kongres Internasional Temulawak pertama pada Maret 2008 di Bogor, Jawa Barat.

Presiden Susilo bambang Yudhoyono, tutur Yaya, mengundang dia ke Istana Presiden di Jakarta untuk mempresentasikan secara rinci soal temulawak tersebut. "Kebetulan akhir Oktober nanti saya menjadi salah satu pembicara pada simposium internasional tentang farmasi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di forum itu, saya diundang sekaligus berbicara bersama 11 ahli farmasi dunia," ujar Yaya.

Meski "terpakai" di Indonesia, Yaya memilih tinggal di Korea. Agaknya motivasi dia untuk tetap "bertahan" tinggal, mengabdikan diri, serta mendalami ilmunya di Korea sama dengan umumnya warga Indonesia yang memilih tinggal di luar negeri. Mereka mampu berprestasi, tetapi kurang dihargai di negeri sendiri.

Warga kehormatan
Di negara lain, mereka bisa lebih bebas mendalami ilmu, berprestasi, sehingga bisa mendapatkan penghargaan yang layak. Bahkan, Yaya yang tinggal di Seoul sejak tahun 2000 itu tak hanya menjadi peneliti senior dan pengajar pada perguruan tinggi swasta Yonsei University, tetapi juga menjadi salah satu warga kehormatan di
Kota Seoul.

Karena itu, ketika Presiden Yudhoyono bertemu dengannya di Korea dan menawarkan kembali ke Tanah Air dan mengabdikan ilmunya di Indonesia, Yaya merasa bimbang. Ia tak segera menerima tawaran tersebut.

"Kembali ke Indonesia, saya pikir bukan satu-satunya jalan terbaik. Kalau pulang ke Indonesia, apakah saya bisa mengembangkan ide-ide saya secara bebas? Jangan-jangan kalau saya pulang ke Indonesia, malah saya menjadi birokrat, bukan peneliti lagi. Saya tidak ingin pulang ke Indonesia, lalu duduk di belakang meja, kemudian tunjuk sana tunjuk sini. Nah, masalah itu yang sedang saya pikirkan," tutur Yaya.

Di Korea, dia merasa bebas melakukan apa pun yang ingin dikerjakan. Di Negeri Ginseng, seorang ilmuwan tidak disibukkan dengan urusan birokrasi seperti halnya di Indonesia. Kegiatan lain Yaya di samping menjadi ilmuwan adalah sebagai tamu pada program siaran seksi Indonesia di Radio KBS Seoul.

Padahal, cita-cita Yaya sebenarnya ingin menjadi seorang guru. Oleh karena itu, dia bersikeras kepada orangtuanya agar bisa belajar di sekolah pendidikan guru di Kota Sumedang. Namun, orangtuanya ingin supaya Yaya belajar di sekolah menengah atas (SMA). Kebetulan, di Situraja, tempat tinggalnya dulu, ketika itu baru berdiri SMA.

Setelah lulus SMA tahun 1983, dia mengikuti beberapa kali ujian masuk perguruan tinggi melalui sistem Proyek Perintis (PP) I sampai PP IV. Selain diterima pada Jurusan Farmasi ITB, Yaya juga lolos seleksi di IPB. Ia pun diterima di Jurusan Biologi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, atau sekarang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Yaya kemudian memutuskan mengambil Jurusan Farmasi ITB. Namun, rupanya cita-cita untuk menjadi guru tetap membayangi sehingga kuliah di ITB hanya dijalaninya setahun. Ia lalu memutuskan pindah ke IKIP Jurusan Biologi hingga sarjana, kemudian menyelesaikan program S-2 dan S-3 di IPB.

Pada waktu melakukan penelitian program doktor, dia pernah dikirim dan lolos seleksi masuk University of California di Berkeley, Amerika Serikat (AS), tahun 1996 untuk mempelajari tentang biokontrol pada penyakit kedelai.

Setiap tahun, kata Yaya, University of California hanya menerima 20 mahasiswa melalui seleksi yang ketat. Dari jumlah mahasiswa itu, 10 di antaranya merupakan warga AS, sedangkan sisanya dari luar AS.

"Ketika itu saya satu-satunya mahasiswa dari Asia," ucap Yaya, yang juga sempat melakukan penelitian biokontrol untuk penyakit kedelai di University of Edinburgh, Skotlandia, tahun 1998.

Akan tetapi, dari hasil riset soal kedelai di AS itulah Yaya Rukayadi kemudian memperkenalkan salah satu rumus kimia YR 32-menyangkut penyakit kedelai-kepanjangan dari Yaya Rukayadi, sedangkan angka 32 adalah umur dia saat melakukan penelitian tersebut.

Setelah meraih S-3, Yaya tertarik pada temulawak sebab sepengetahuannya tanaman itu hanya ada di Indonesia. Ia lalu memusatkan perhatiannya pada temulawak.

Keinginannya untuk meneliti lebih jauh manfaat temulawak semakin terbuka lebar saat dia diajak Prof Jae Kwan-hwang, pengajar pada Yonsei University, untuk bergabung sebagai peneliti sekaligus pengajar pada perguruan tinggi tersebut.

Dari hasil penelitian pada temulawak, dia antara lain menemukan fungsi temulawak sebagai antiketombe. Temulawak juga bisa dimanfaatkan sebagaipasta gigi. Menurut Yaya, temulawak pun sangat mungkin dapat digunakan untuk mengatasi penyakit kanker. Meski untuk itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Meski cukup sibuk, Yaya tetap menyempatkan diri menulis hasil penelitiannya tentang temulawak untuk jurnal-jurnal ilmiah internasional. Alasannya, agar temulawak menjadi perhatian lebih banyak peneliti di dunia.

BIODATA

* Nama : Dr Yaya Rukayadi
* Lahir : Sumedang, 17 Agustus 1964
* Keluarga : Dia anak bungsu dari enam bersaudara
* Hobi : Fotografi, jalan-jalan, dan menulis. Salah satu hobinya
adalah menulis cerita pendek (carita pondok-carpon)
pada Majalah "Sunda Mangle".

* Pendidikan:
- Lulus SMA, 1983
- Kuliah pada Jurusan Farmasi ITB, 1983-1984
- Sarjana Biologi IKIP Bandung, 1984-1990
- Program Master (S-2) di IPB Bogor, 1992-1995
- Program Doktor (S-3) di IPB, 1995-1998

* Kegiatan Lain:
- Menjadi pembawa acara pada Radio Korea International (RKI)
- Korean Broadcasting System (KBS), 2002

* Penghargaan:
- Sebagai Warga Kehormatan Kota Seoul, 2007, dia antara lain bisa
bepergian ke mana saja di kota itu secara gratis


Sumber: Kompas
Penulis: Tjahja Gunawan Diredja

1 komentar:

dy uli mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.